Suara Ayam Pelung Bikin "Muringkak Bulu
Punduk"
KOKOK ayam pelung jantan masih dianggap
misteri oleh sebagian pengagumnya. Pesan apa
yang disampaikan lewat kokok itu belum bisa
dimengerti. Ada yang menafsirkan ayam pelung
yang terus-menerus berkokok, pertanda sedang
berbunga-bunga melihat nasib baik pemiliknya.
Namun, ada pula yang menafsirkan, kokok pelung
sebagai ajakan mengenang sejenak tentang diri,
alam dan sang
Penciptanya.
Boleh-boleh saja orang memberikan penafsiran
terhadap apa saja
yang terjadi, termasuk kokok ayam, bahkan suara
tokek. Namun,
tak ada jaminan kebenaran penafsiran itu, karena
semua
berdasarkan perkiraan atau dugaan.
Bisa jadi kokok ayam yang dikatakan sebagai
ungkapan perasaan
gembira itu diartikan sebaliknya. Yakni merupakan
jeritan panjang
terhadap penderitaan, kesedihan melihat
kehancuran dunia dan
tingkah laku manusia, atau bersedih karena ia
(ayam)
"terpenjarakan" dalam kandang.
Pemaknaan kokok ayam tergantung pikiran orang
yang
mendengarnya. Ada yang bilang kokok ayam pelung
menyedihkan,
terasa nelongso, dan mungkin menggembirakan
pemiliknya yang
mengurus sehari-hari, karena kokok ayam itulah
justru yang
ditunggu-tunggu.
Suara kokok ayam pelung kadang-kadang memang
menimbulkan
rasa sedih bagi orang yang mendengarnya. Pernah
suatu saat ada
seorang nenek menginap di rumah seorang penggemar
ayam pelung.
Ketika kokok ayam pelung terdengar, si nenek itu
langsung
terbangun dan tidak bisa tidur lagi. Dia merasa
sedih setelah
mendengar kokok ayam yang ditaruh di kandang
belakang rumah itu.
Entah apa yang muncul dalam benak tamu tersebut,
ketika
mendengar kokok ayam pelung, sehingga mengganggu
perasaannya
dan membuatnya sulit tidur kembali. "Namun
sayang, ayam pelung
saya itu sudah mati, karena penyakit," kata
salah seorang
penggemar ayam pelung.
"Saya terpaksa menjual ayam pelung saya,
karena
tetangga-tetangga saya menyindir dengan kata-kata
'ada yang sakit
ya'. Ya saya cukup mengerti, ayam itu lalu saya
jual," kata salah
seorang penggemar ayam pelung.
Terlepas dari penafsiran makna yang terkandung
dalam kokok
pelung, kualitas suara ayam pelung itu sendiri
sampai saat ini masih
menjadi bahan perbincangan yang seakan-akan tak
ada habisnya.
Penilaian "baik" dan "buruk"
tergantung selera masing-masing. Kalau
tidak mampu mengendalikan emosi, penilaian yang
tidak seragam
terhadap kokok ayam pelung bisa membawa
pertikaian di arena
kontes ayam pelung.
DI tengah berbagai pendapat mengenai penilaian
baik dan buruknya
kokok ayam pelung, H Suja'i, tokoh pelestari dan
pengembang ayam
pelung dari Cianjur, Jawa Barat- pemilik ayam
pelung juara nasional-
mencoba memberikan gambaran penilaian secara
sederhana
mengenai kokok ayam pelung. Menurut Suja'i,
penilaian ayam pelung
semata-mata hanya didasarkan atas pengalaman dan
perasaan.
"Ayam pelung yang memiliki suara bagus dan
serasi kalau berkokok
akan menimbulkan rasa muringkak bulu punduk
(merinding bulu
kuduk)," kata Suja'i. Sementara ayam pelung
yang bersuara dengan
mutu sedang, suaranya akan terasa menusuk
telinga, dan ayam
pelung yang bersuara jelek akan menimbulkan
perasaan yang
nyentug kana hate (memukul ulu hati).
Penilaian yang dikemukakan Suja'i sudah pasti tidak
bisa digunakan
dalam ukuran penilaian kontes ayam pelung.
Penilaian yang
berdasarkan pengalaman dan perasaan sulit
menjamin
ke-obyektif-an. Belum tentu kokok pelung yang
dirasakan
membangunkan bulu kuduk Suja'i, akan pula membuat
muringkak
bulu punduk tim juri.
Untuk menyamakan persepsi, sejumlah sesepuh,
tokoh dan
organisasi ayam pelung pernah bertemu dengan
pihak pemerintah
dan perguruan tinggi di Balai Pembibitan Ternak
dan Hijauan
Makanan Ternak
(BPT-HMT) Bunikasih. Dalam pertemuan itu diadakan
seminar dan
lokakarya mengenai ternak ayam pelung, dengan
tujuan mendapat
keseragaman dan menyamakan persepsi.
Selain membahas masalah sistem penilaian ayam
pelung dalam
penyelenggaraan kontes, pertemuan itu juga
membicarakan
bagaimana melestarikan dan pengembangan ayam
pelung di
Indonesia. Dalam pertemuan itu, hadir pengurus
Himpunan Peternak
dan Penggemar Ayam Pelung (Hippap) Pusat,
pengurus Hippapi
Jawa Barat, Hippapi Cabang dari delapan daerah
tingkat II di Jawa
Barat, tokoh serta sesepuh Hippap, Dinas
Peternakan, dan
perwakilan dari Universitas Padjadjaran.
Pada pertemuan 21 Desember 1994 itu diperoleh
kesepakatan-kesepakatan antara lain mengenai
penilaian ayam
pelung yang baik, klasifikasi penyelenggaraan
kontes ayam pelung,
dan sistem penjuriannya.
Dalam kriteria penilaian ayam pelung yang
mendapatkan
kesepakatan dalam pertemuan tersebut dikatakan,
ayam pelung
dilihat dari dua sisi: suara dan penampilan
(performance). Sistem
penilaian itu kemudian diterapkan dalam kontes
ayam pelung, baik
untuk tingkat nasional maupun daerah hingga
sekarang.
Penilaian suara dalam kontes ayam pelung terdiri
atas beberapa
aspek, yaitu volume suara, kebat (panjang-pendek
suara), angkatan
(suara awal), suara tengah, tungtung (suara
akhir), keserasian, dan
periode suara.
Volume suara ayam pelung dinilai secara berurutan
mulai yang
tertinggi sampai yang terendah, yakni besar,
sedang, dan kecil.
Kebat atau panjang-pendek suara tanpa terputus.
Penilaian kebat
terdiri atas tiga kriteria, yaitu kategori baik
10 detik ke atas, sedang
6-9 detik, dan kurang lima detik ke bawah.
Angkatan (suara awal) dinilai dengan tiga
kriteria. Dikatakan baik
apabila volume suara awal besar, bersih, anca
(lambat), dan lama
suara lebih dari 1,5 detik yang dikenal dengan
istilah suara kudukur.
Sedang, bila suara awal sedang, kurang bersih,
dan kurang anca,
dengan lama suara kurang dari satu detik atau
dikenal dengan istilah
suara teteker.
Suara tengah, merupakan suara atau kokok ayam
pelung yang
terjadi antara angkatan (suara awal) dan tungtung
(suara akhir). Pada
suara tengah ini biasanya terjadi perubahan
volume suara dengan
istilah bitu. Bitu atau perubahan volume suara
tengah biasanya
terjadi pada saat perpindahan/perubahan dari
suara awal ke suara
akhir.
KRITERIA penilaian untuk suara tengah digolongkan
menjadi dua.
Yaitu dikatakan baik apabila volume suara tengah
besar, bersih,
terjadi perubahan volume suara (bitu), dan
panjang suara lebih dari
enam detik. Dan, dikatakan sedang apabila volume
suara tengah
besar, bersih, tetapi tidak terjadi perubahan
volume suara, serta
panjang suara antara 3- 6 detik.
Suara akhir (tungtung) merupakan suara yang
mengakhiri kokok
ayam pelung. Kriteria penilaiannya: baik, sedang,
dan kurang.
Dikatakan baik, apabila volume suara besar,
bersih, serta lunyu (sari,
licin, halus, dan bersih), dan tanpa terputus
(tamat sampai akhir).
Dikatakan sedang, apabila volume suara besar atau
sedang, bersih,
tetapi kurang lunyu) atau terputus di tengah.
Kurang, bila volume
suara sedang atau kecil, tidak bersih, tidak
lunyu, dan terputus di
tengah.
"Kokok ayam pelung juga dinilai dari segi
keserasian rangkaian
suara kokok, mulai dari angkatan sampai tungtung,
sehingga
menghasilkan suara bagus, indah, dan enak
didengar," kata H Asep
Abdullah (47), peternak ayam pelung "Bumi
Kasih" yang ditemui
Kompas di rumahnya, Desa Cijedil, Kecamatan
Cugenang,
Kabupaten Cianjur, pekan lalu.
Asep yang telah berusaha ternak ayam pelung
selama 15 tahun,
pernah menggondol sejumlah piala hasil kontes
ayam pelung. Piala
itu antara lain Piala Utama Rektor kategori suara
dalam Kejuaraan
Kontes Ayam Pelung se-Jawa Barat dalam rangka
Dies Natalis
ke-38 Universitas Padjadjaran, dan juara I
bergilir di Institut Pertanian
Bogor (IPB).
Kokok ayam pelung dinilai baik, kalau seluruh
rangkaian kokok dari
angkatan sampai tungtung saling berhubungan dan
sangat serasi.
Dinilai sedang bila seluruh rangkaian suara
kurang serasi antara
angkatan, suara tengah, dan tungtung. Dan,
dinilai kurang, bila
seluruh rangkaian suara (kokok) tidak serasi
antara angkatan, suara
tengah, dan tungtung.
Namun sekali lagi, penilaian keserasian suara
ayam pelung masih
sangat subyektif. Orang lain mengatakan serasi,
tetapi lainnya tidak.
Dalam kontes ayam pelung yang seringkali
diselenggarakan, tim juri
mencatat periode kokok (tingkat keseringan
kokok). Ayam pelung
akan mendapat nilai baik (dalam periode bersuara)
apabila dalam
selang waktu tiga menit berkokok dua sampai tiga
kali. Sedang,
apabila dalam waktu tiga menit berkokok satu
sampai dua kali, dan
dianggap kurang bila dalam waktu tiga menit hanya
sekali bersuara.
PENAMPILAN ayam pelung dinilai dari keadaan tubuh
bagian depan
(anterior) dan keadaan tubuh bagian belakang
(posterior). Pada tubuh
bagian depan dilihat dari bentuk dan warna
jengger, bentuk dan
keadaan mata, keadaan hidung, bentuk paruh,
bentuk leher, bentuk
tembolok, dan bentuk dada.
Pada bentuk dan warna jengger dinilai baik bila bentuk
jengger
tunggal dan tinggi, jengger berdiri tegak, jumlah
geligi/ lekukan
jengger ganjil, dan lebih dari lima, serta warna
jengger merah cerah
dan bersih.
Bentuk dan keadaan mata dikatakan baik bila
bentuk mata seperti
lubang kancing, warna mata hitam
kecoklat-coklatan, dan keadaan
mata jernih dan bersinar.
Keadaan hidung yang baik, mempunyai lubang yang
besar, dan
lembab tetapi tidak basah/ berlendir. Bentuk
paruh yang dianggap
baik, panjang, besar, dan berbentuk sesiung
bawang. Bentuk leher
panjang dan besar. Sedang bentuk tembolok yang
dinilai mendukung
keindahan adalah bulat dan menggantung dengan
simetris. Dan,
bentuk dada lebar.
Pada sudut tubuh bagian belakang dilihat dari
bentuk kaki, bentuk
sisik, bentuk taji, ekor, cloaca (tunggir),
bentuk badan, sikap
berdiri/berjalan, dan keadaan bulu. Ayam pelung
yang dinilai baik
punya kaki panjang dan besar, posisi lurus, dan
tegak, dengan warna
hitam, abu-abu, putih atau kuning. Bentuk sisik
yang baik: timbul
dengan barisan/jajaran beraturan dan serasi.
Bentuk taji tunggal, simetris dan lurus dengan
bentuk susuk randu.
Ekor melengkung seperti pare saranggeuy, tunggir
bersih dan
lembab, bentuk badan tegak dan sembada
(ngaguguling), sikap
berdiri dan berjalan tegak dan tegap. Dan,
keadaan bulu bersih dan
mulus, tidak rontok dan halus mengkilat.
Sumber”kompas”